Di gang kecil di pinggiran kota, hidup seorang kakek bernama Abah Suhendi, usia 60 tahun. Badannya makin kurus, jalannya pelan, tapi hampir setiap pagi Abah tetap keluar rumah membawa plastik lusuh berisi rokok eceran untuk dijual keliling kampung. Abah juga mengumpulkan rongsokan untuk penghasilan tambahan.

Namun, tetap saja semuanya menghasilkan upah yang sangat minim. Abah sejak lahir Abah tidak bisa bicara, sehinga membuat dirinya kesusahn untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak.
Sedihnya, sejak istrinya meninggal, Abah tinggal seorang diri di rumah kecil yang sudah rapuh. Dindingnya lapuk, atapnya bocor. Kalau hujan deras, air masuk dari mana-mana. Kadang rumahnya sampai kebanjiran, dan Abah terpaksa keluar malam-malam untuk berteduh di luar.

Tidurnya pun seadanya. Hanya tikar tipis dan keranjang kayu tua sebagai tempat beristirahat. Tidak ada kasur, tidak ada bantal, hanya ruang kecil yang semakin dingin setiap malamnya.
Meski hidupnya serba sulit, Abah jarang sekali terlihat mengeluh. Ia tetap berusaha, tetap berjalan, tetap bertahan. Dalam hati kecilnya, Abah hanya ingin satu hal, yaitu inginpunya rumah yang layak untuk ia tinggali, agar hari-harinya tak lagi diisi bocor, banjir, dan dingin.
