Sudah puluhan tahun sejak lansia berusia 70 tahun ini menjadi seorang penjual poster di pinggiran jalan. Setiap langkahnya menjadi saksi, Abah Uton berjuang demi keluarganya.
Sejak matahari terbit, ia bersiap-siap dari kontrakannya untuk berkeliling hingga malam hari. Jarak puluhan kilometer rela ia tempuh meski dengan napas yang tersengal-sengal, karena ada istri dan anak yang setia menunggu di kampung halaman.
Hanya sesekali Abah Uton beristirahat melepas penat di pinggir jalan. Mengistirahatkan kaki yang terkadang lecet karena berjalan kaki terlalu jauh.
Mirisnya meski Abah Uton berjualan sejak pagi hingga malam, dagangannya nyaris sepi dan tak ada pembeli. Dalam sehari ia hanya memperoleh dua puluh ribu hingga paling banyak tiga puluh ribu dari berjualan poster.
“Dari pagi Abah keliling baru dapat pembeli 1 orang, Abah sedih pas Abah periksa ternyata uang palsu. Abah kena tipu, Abah lesu nak, padahal Abah lagi nabung buat bayar kontrakan dan biaya anak sekolah di kampung” cerita Abah Uton.
Jauh dari istri dan anak, Abah Uton tinggal di sebuah kontrakan kecil. Hasil berjualan poster harus Abah Uton bagi agar abah bisa makan dan membayar kontrakan hingga memberi nafkah untuk keluarga di kampung dan pendidikan anak bungsunya.
Dengan penghasilan minim, tak jarang Abah Uton harus berhemat dengan makan sekali sehari agar bisa membawa uang lebih saat pulang kampung. Terlebih jika dagangannya tidak laku terjual. Abah Uton hanya bisa menahan lapar selama berjualan. Ia hanya mampu mengganjal perut kosongnya dengan sebotol air putih atau sebuah pisang yang ia bawa sebagai bekal.
Meski penghasilan dari berjualan poster sangat minim dan tidak menentu, Abah Uton senantiasa bersyukur karena masih bisa makan walaupun seadanya.