Di balik mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak, seorang guru ngaji bernama Bu Rosmayati, yang akrab dipanggil Bu Emay. Setiap hari, ia berjuang tidak hanya untuk mendidik, tetapi juga untuk bertahan hidup.
Selama sepuluh tahun, Bu Emay telah membuka pintu rumahnya untuk mengajar mengaji. Setiap sore, anak-anak berbondong-bondong datang, Bu Emay mengajar tanpa memungut biaya, tetapi ia sendiri hidup dalam kemiskinan, bahkan kesulitan untuk menyediakan buku dan materi pembelajaran bagi anak-anak.
Di rumahnya, Bu Emay tidak hanya merawat anak-anak, tetapi juga kakak perempuannya, Bu Rohanah, yang berusia 60 tahun dan hidup dengan disabilitas. Dengan kondisi yang tidak bisa berbicara dan mental yang terganggu, Bu Rohanah menghabiskan harinya terbaring, bergantung sepenuhnya pada Bu Emay.