"Teu ngeunah tapi ludes!! (Gak enak tapi habis!!)"
Itulah kalimat khas yang dulu sering diucapkan Iyan Andriyan (68 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama Mang Bilal. Ia adalah seorang pedagang bubur ayam sederhana di Kabupaten Sumedang. Julukan "Bilal" disematkan oleh warga karena suara adzannya yang merdu dan menyentuh hati, yang pernah rutin menggema di mushola kampung setiap Subuh dan Maghrib.
Namun kini, suara adzan itu jarang terdengar. Dan gerobak bubur ayam Mang Bilal pun tak lagi ramai seperti dulu. Yang tersisa hanyalah kesunyian pagi dan harapan yang terus ia bawa dalam doanya.
Beberapa tahun silam, dunia digital sempat memberinya secercah harapan. Dengan gaya kocaknya, Mang Bilal menari kejang-kejang ala Michael Jackson sambil menyajikan bubur. Tak sedikit yang tertawa terpingkal dan mengabadikan momen bersamanya. Viral di media sosial, gerobaknya diserbu pembeli dari luar kota, bahkan luar pulau. Ia jadi semacam ikon local pedagang bubur nyentrik yang membawa tawa di balik kesederhanaannya.
"Yang datang banyak pisan, bukan hanya makan bubur. Banyak juga yang minta foto dan ngonten," ucapnya sembari tersenyum, mengenang masa-masa itu.
Namun, seperti tren media sosial lainnya, sorotan itu tak bertahan lama. Popularitas meredup. Kamera-kamera ponsel berhenti menyorotnya. Konten tak lagi dibuat. Dan gerobak Mang Bilal kembali sendiri, ditemani angin pagi dan sisa-sisa bahan jualan yang tak habis.
Kini, penghasilannya bahkan tak cukup untuk sekadar membayar kontrakan bulanan. Dulu sempat bisa menyisihkan untuk tabungan, kini untuk makan saja harus dihitung-hitung. Usaha bubur yang pernah bangkit, kembali jatuh.
Kesulitan hidup tak hanya datang dari soal ekonomi. Saat berjualan pun ia kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan, diusir dari tempat mangkal, ditertawakan, bahkan pernah dibohongi pembeli yang tak mau membayar. Namun, ia selalu memilih untuk memaafkan dan tetap tersenyum.
"Kalau saya marah-marah, nanti malah tambah stres. Lebih baik bikin orang ketawa, biar hati sendiri juga lebih ringan," ucapnya.
Meski di usia senja, semangat Mang Bilal belum pudar. Ia masih berjualan setiap hari bersama dua adik sepupunya yang setia menemaninya. Mereka menyiapkan dagangan dari subuh, berharap ada yang mampir, membeli, dan memberi semangat baru.
Di balik gurauan dan tarian lucunya, tersembunyi sebuah harapan: ingin bisa kembali menghidupi istrinya dan hidup lebih layak lagi.
Sahabat Kebaikan, di balik kelucuan dan viralnya sosok Mang Bilal, ada perjuangan panjang yang kadang tak terlihat. Ada luka yang dipendam dalam diam.
Mari bantu ringankan beban Mang Bilal yang kini kembali berjuang seorang diri. Sekecil apa pun donasi yang kamu berikan, akan menjadi cahaya harapan bagi keluarga kecilnya.
Bantu dengan cara: