59 Tahun Setelah Dwikora, Bu Aminah Hidup di Kursi Roda
Hari itu, senja hari di tahun 1964, Aminah gadis 18 tahun yang sudah bertunangan duduk di beranda rumahnya, memandangi surat panggilan yang baru saja diterima. Panggilan itu bukan undangan pernikahan, melainkan panggilan negara.
Hatinya berperang. Tiga bulan lagi ia akan menikah dengan pemuda yang ia cintai, namun di sisi lain, negara memanggilnya untuk bergabung di garis terdepan dalam operasi Konfrontasi Dwikora (1964–1967), sebuah misi mempertahankan kemerdekaan dari ancaman luar negeri.
Pilihan itu akhirnya jatuh pada pengabdian. Dengan air mata, ia mengembalikan cincin tunangan. “Saya janji setia, tapi untuk negeri,” kata Aminah dalam hati, meninggalkan mimpi membangun rumah tangga demi mengabdi pada tanah air.
Pada awalnya, Bu Aminah menjalani pekerjaan memasak dan menjahit, namun karena bekerja di lingkungan para prajurit, ia pun menjalani pendidikan militer, seperti atihan fisik, teknik bertahan hidup, hingga menembak. Di foto-foto hitam putih yang kini ia simpan rapi, terlihat wajahnya masih muda, gagah, penuh semangat.
“Waktu itu gak ada rasa takut. Yang ada cuma semangat, apalagi Indonesia sudah merdeka, tapi masih ada yang mengganggu,” kenangnya.
Masa-masa itu tidak hanya menguji fisiknya, tapi juga nyalinya. Ia masih ingat jelas momen ketika 4 selongsong peluru melintas begitu dekat, nyaris merenggut nyawanya. Ia selamat, tapi dua sahabatnya, gugur di tempat.
“Sampai sekarang saya masih kirim doa buat mereka,” ucapnya lirih, sambil menatap foto sahabatnya.
Kini, di usia 79 tahun, tubuh Bu Aminah sudah lumpuh. Kakinya tak bisa digerakkan, tangannya kaku. Untuk makan saja, ia bergantung pada anaknya, Bu Asri, yang dulu sempat bekerja sebagai buruh cuci keliling dan asisten rumah tangga panggilan, namun sekarang sudah tidak bisa lagi bekerja karena harus menjaga Ibu sepenuhnya.
“Ya.. mau kerja lagi juga gimana Pak?, ibu sudah tidak bisa apa-apa, segalanya harus dibantu saya, sudah kayak bayi aja Ibu sekarang” Ujarnya.
Hanya gaji pensiunan yang menopang, meskipun itu dirasa tidak cukup untuk kebutuhan ibu Aminah sekarang, seperti biaya terapi, popok dewasa dan yang lain nya.
Nek Aminah hanyalah satu dari banyak pejuang yang kini terlupakan. Mereka yang dulu gagah di medan laga, kini berjuang melawan sepi, sakit, dan lapar. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada penghormatan setiap hari, hanya kenangan dan doa.
Menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025 ini, mari kita tunjukkan bahwa kita peduli. Apa yang kita berikan memang tak akan pernah sebanding dengan pengorbanan mereka, tapi setidaknya kita bisa memberi tanda cinta untuk para pahlawan yang telah menjaga merah putih tetap berkibar.
Kalian dapat berdonasi dengan cara :
Beberapa informasi:
*Ayo Kita Peduli merupakan NGOs yang berdiri sejak 2023 dan berada di bawah naungan Ayo Berdampak Berdaya. Dengan tagline #BerdampakBerdaya kami berfokus pada masalah kemiskinan kelas sosial rentan perkotaan dan pedesaan melalui berbagai program dan campaign pemberdayaan untuk upaya peningkatan kesejahteraan.
Contact and More Information:
Instagram: @ayokita.peduli
Email: ayoberdampakberdaya.id@gmail.com