Di usia yang seharusnya diisi dengan istirahat tenang, Mak Apong (82 tahun) justru harus berkeliling kampung dari pagi hingga siang menjajakan jagung rebus.
Dengan tubuh ringkih dan langkah yang tertatih, Mak Apong hanya mendapatkan Rp15.000 – Rp20.000 sehari, itu pun jika semua dagangannya habis. Seringkali, ia pulang membawa jagung yang tak laku, bersama tubuh lelah dan perut kosong.
Namun, yang lebih menyayat hati, Mak Apong kini hidup sebatang kara.
Anak semata wayangnya pergi lebih dulu karena sakit Covid-19. Hanya berselang 38 hari, cucu satu-satunya yang setia menemaninya pun menyusul. Sejak saat itu, Mak Apong hidup sendiri, ditemani rasa sepi dan sering kali berbicara sendiri, seolah bercengkerama dengan anak dan cucunya yang sudah tiada.
Pernah, ketika berjualan, ada orang yang tega menukarkan uang Mak Apong dengan uang mainan. Dengan polosnya, ia baru menyadari setelah uang itu tak bisa dibelanjakan.
Baru-baru ini, Mak Apong jatuh sakit pusing hebat, darah rendah, dan tubuhnya lemah. Sayang, ia ditolak rumah sakit karena tidak punya KTP. Kini, ia hanya bisa dirawat seadanya di rumah kecilnya yang sempit dan kumuh.
Di balik semua penderitaan itu, Mak Apong tetap bersikeras berjualan.
Ia menolak untuk meminta-minta. Katanya, "Emak tidak mau jadi beban orang lain."
Sobat berdampak, bayangkan jika itu adalah nenek kita sendiri.
Apakah kita tega membiarkan beliau menghabiskan masa tua dengan rasa lapar, kesepian, dan sakit tanpa pengobatan?
Mari kita ulurkan tangan.
Yukk kita bantu Mak Apong mendapatkan makanan layak, biaya pengobatan, serta tempat tinggal yang lebih layak.bantu ringankan beban Beliau dengan cara:
Klik tombol “DONASI SEKARANG”
Kamu juga bisa bagikan galang dana ini agar semakin banyak do’a dan dukungan yang terkumpul. Aamiin