Saat matahari belum sepenuhnya merekah, Pak Heri sudah berdiri di pinggir jalan dekat pintu Tol Baros. Tubuhnya terus bergerak tanpa kendali ditarik oleh distonia dan epilepsi yang menggerogoti sejak 2015. Tangannya gemetar, kakinya bergetar, wajahnya kaku. Tapi ia tetap menyeduh kopi dengan sisa tenaga yang ia punya. Ia tahu, hari itu tak akan mudah. Tapi ia tetap turun ke jalan. Demi dua anak perempuannya.
Pak Heri bukan hanya pedagang kopi. Ia adalah ayah tunggal yang memikul dunia di pundaknya yang rapuh. Istrinya pergi sejak anak bungsunya masih TK. Kini, satu anaknya sudah bekerja tapi hanya cukup untuk diri sendiri. Yang satu lagi masih SMP, masih butuh buku, seragam, sepatu. Kadang, kebutuhan sekolah pun tak terpenuhi. Tapi tak ada waktu untuk mengeluh. Karena jika Pak Heri berhenti, anaknya tidak akan makan.
Hidupnya penuh luka yang tak terlihat. Pernah bekerja di instansi, gagal jadi honorer, lalu jadi tukang ojek. Modal jualan kopi ia pinjam Rp800 ribu. Sehari-hari ia berjuang di bawah terik, hujan, kadang hanya laku Rp7.000. Pernah kopi tumpah karena tubuhnya bergerak sendiri. Pernah jatuh dari motor. Pernah ditabrak mobil, dipalak, bahkan ditipu. Tapi ia tetap berdiri. Karena setiap gelas kopi yang laku, adalah satu langkah lebih dekat menuju masa depan anaknya.
Pak Heri punya satu harapan kecil: bisa buka warung di rumah.