Setiap pagi pukul enam, Bah Eem berangkat dengan berjalan kaki sejauh 5 km untuk mengambil dagangan kerupuk di pabrik. Kerupuk seharga Rp2.000 itu ia jajakan keliling. Dalam sehari beliau membawa 100 bungkus, kadang habis, namun sering masih sisa banyak dan tak laku sama sekali.
Namun perjuangan Bah Eem tidak berhenti di situ. Jika pabrik tidak produksi, beliau beralih memulung rongsokan. Tiga hari penuh mengumpulkan botol plastik hanya menghasilkan Rp15.000. Meski begitu, beliau tetap tegar dan ikhlas. Bahkan pernah ditipu hingga tiga kali ketika berjualan oleh yang pura-pura membeli membawa kabur uang hasil jerih payahnya, Bah Eem hanya bisa pasrah.
Bah Eem kini hidup sebatang kara. Istrinya, yang bertahun-tahun menderita kebutaan akibat katarak, meninggal pada 2023 karena sakit lambung. Dari pernikahannya, mereka tidak dikaruniai anak, Kini, Bah Eem pun mengalami penyakit yang sama lambungnya sering bermasalah. Sering kali perutnya terasa perih, bahkan ia harus menahan sakit ketika berjalan jauh menjajakan kerupuk. Di usianya yang renta, ditambah tubuhnya yang mudah sakit, kondisi itu membuat perjuangan beliau semakin berat.
Meski begitu, Bah Eem tetap berusaha berjuang. Ia tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan tetangga yang sering membantunya. Beliau lebih memilih bekerja keras, meski hasilnya hanya cukup untuk sekadar bertahan hidup.
Hati Bah Eem sangatlah lapang. Jika ada yang meminjam uang atau padi dan tak mengembalikannya, beliau tidak pernah mempermasalahkan. Bahkan sisa dagangannya sering ia bagikan secara cuma-cuma kepada orang yang membutuhkan.
Di tengah penyakit lambung, usia senja, dan tubuh yang lemah, ia tetap berkeliling mencari nafkah. Semua ia lakukan agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan bisa bertahan hidup
Mari kita bantu Bah Eem, agar beliau bisa melewati masa tuanya dengan lebih layak, tanpa harus terus menahan sakit dan berjuang sendirian. Bantu dengan cara: