Di sebuah rumah kecil yang hampir tak berisi apa-apa, seorang lelaki tua melewati hari-harinya dalam sunyi. Abah… hidup seorang diri. Tidak punya anak. Tidak punya istri lagi yang menemaninya bercerita, menyiapkan makan, atau sekadar duduk bersama di sore hari.
Tiga tahun lalu, separuh hidup Abah pergi untuk selamanya. Sejak kepergian istrinya, rumah yang dulu penuh suara menjadi hening… dan Abah memutuskan pindah dari Tegal Waru ke rumah yang dekat dengan adiknya, agar jika suatu hari ia jatuh sakit, masih ada orang yang tahu.
Tapi meski dekat dengan saudaranya, Abah tetap tinggal sendiri. Tetap tidur sendiri. Tetap makan sendiri. Dan tetap bangun setiap pagi tanpa ada siapa pun yang menyapanya.
Abah makan seadanya sering kali hanya gorengan. Kalau tidak ada uang, ia menahan lapar sampai ada tetangga yang iba mengantarkan makanan.
Padahal tubuhnya kini sudah sangat rapuh. Sehari-hari abah berkerja sebagai penjaga dan pembersih makam. Di sanalah ia bekerja menjadi tukang bersih-bersih makam tanpa bayaran. Tidak ada upah, tidak ada gaji.
Kadang ada yang menyelipkan 10–20 ribu, tapi itu pun jarang. Sisanya, Abah bekerja dengan tangan kosong dengan niat agar makam-makam itu tetap terjaga. Ia bahkan rela tiga kali seminggu datang ke sana meski tubuhnya terus melemah.
Tangan Abah kini penuh bengkak. Terkena duri. Pernah digigit kalajengking. Pernah terjatuh karena hujan membuat tanah licin. Tapi setiap kali orang bertanya, ia hanya tersenyum dan berkata:
“Nanti juga sembuh sendiri…”
Abah terlalu sering menyembunyikan sakitnya.
Terlalu sering menahan lelahnya sendirian.
Saat malam tiba dan keheningan datang, Abah sering berdiri di depan rumah kecilnya. Melihat jalanan. Melihat lampu-lampu rumah tetangga. Mungkin… hanya untuk memastikan bahwa ia masih bagian dari dunia yang terus bergerak, meski ia menjalani semuanya sendirian.
Ada satu kalimat Abah yang paling menyayat:
“Kadang abah sepi, neng… tapi ini jalan dari Allah. Abah pasrah. Abah mah cuma pengen akhir hidup abah baik aja.”
Di usia senja, Abah tak lagi memikirkan dirinya. Ia tidak meminta apa pun. Tidak menyimpan mimpi besar. Yang ia inginkan hanyalah bisa hidup layak, makan cukup, bisa shalat tanpa merasa pusing, dan menjalani sisa hidupnya dengan tenang.
Namun semakin hari, fisiknya makin melemah…
sementara penghasilannya nyaris tidak ada.
Abah membutuhkan bantuan dan ia tidak pernah akan meminta.
Karena sepanjang hidup, Abah hanya tahu satu hal: berbuat baik.
Hari ini, kita punya kesempatan membalas kebaikan itu.
Kita bisa menjadi keluarga bagi Abah.
Kita bisa menjadi tangan yang menopang hidupnya di sisa usia yang singkat ini.
Setitik bantuan dari kita mungkin kecil…
tapi bagi Abah, itu bisa menjadi alasan untuk terus bertahan.
Bantu Abah Sukari dengan cara:
Klik tombol DONASI SEKARANG;
Masukkan nominal donasi;
Pilih metode pembayaran;
Dapatkan laporan melalui email.
