Di sudut pasar yang mulai sepi saat senja turun, berdiri seorang kakek renta bernama Abah Dayat, berusia 80 tahun. Tangannya yang bergetar memegang beberapa mainan cepot, tokoh lucu dan penuh canda dalam tradisi Sunda. Ironisnya, di balik mainan cepot yang mengundang tawa itu, tersimpan hati seorang kakek yang penuh luka dan rindu panjang.

Setiap hari, Abah Dayat berjalan pelan menyusuri gang-gang sempit. Lututnya sering terasa ngilu, napasnya kadang tersangkut. Namun ia tetap melangkah. Ia menjual mainan itu bukan dari jerih payahnya sendiri, melainkan ia mengambil dari orang lain. Dari hasil jerih payah itu, ia hanya mendapatkan 10 sampai 20 ribu rupiah per hari, itupun kalau ada yang membeli.
Sore hari, saat orang-orang pulang disambut keluarga, Abah Dayat justru pulang ke kontrakan kecil yang gelap. Atapnya bocor bila hujan datang, dindingnya mulai rapuh, dan tidak ada suara siapa pun menyambutnya. Ia sendirian, benar-benar sendirian.

Istrinya, satu-satunya tempat ia berbagi keluh dan harap, telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu, anaknya menghilang entah kemana. Tak pernah sekalipun menjenguk atau sekadar menanyakan kabar. Abah tidak tahu apakah ia harus marah atau tetap menunggu dalam doa yang jelas ia tetap menyimpan rindu yang tak pernah terbalas.
Harapan untuk hidup layak, harapan untuk tidak dilupakan, dan harapan bahwa dunia masih menyisakan kebaikan untuk seseorang bernama Abah Dayat.
