Di usia 73 tahun, Abah Nana masih menggenggam secangkir harapan bukan untuk kaya, hanya agar bisa makan hari ini. Setiap pagi ia duduk bersandar di sudut kota, menjual kopi dari termos tuanya. Tangannya sudah lama tak kuat menggenggam, kakinya berat untuk melangkah. Tapi ia tetap datang. Karena jika tidak berjualan, tak ada yang bisa dimakan.
Abah hidup sendirian, tidur di masjid, beralaskan kardus dingin dan diam. Anak dan cucunya tak pernah datang menjenguk. Tak satu pun. Padahal Abah tak pernah meminta. Bahkan saat tubuhnya menggigil karena kedinginan malam, saat ia harus ngesot ke tempat tidur karena tak sanggup berdiri... Abah hanya diam, tak mengeluh, hanya ingin besok masih bisa jualan.
Dulu Abah pengrajin perhiasan, tangannya pernah membuat keindahan. Kini, tangan itu gemetar, kesemutan, tak lagi bisa memegang tang. Stroke dan asam urat merenggut segalanya. Termasuk kemampuan untuk sekadar menjaga diri. Ia pernah jatuh karena tak kuat berjalan, pernah ditipu, dihipnotis, bahkan pernah hanya minum air panas seharian karena tak punya uang untuk makan.
Orang lain mungkin sudah menyerah, tapi tidak Abah. Ia pernah dihina hanya karena ingin mengutang dua batang rokok. "Aki-aki bau tanah, cepat mati aja," begitu katanya orang. Tapi Abah tetap menunduk, diam, memilih menahan sakit hati daripada harus membalas. Karena yang ia kejar bukan rasa hormat, tapi hidup.