Usianya kini sudah menginjak 70 tahun, namun Abah Udip masih harus kerja keras demi sesuap nasi. Berkeliling dari jam 5 pagi sampai menawarkan jasa ukur berat badan dan cek tekanan darah. Alat timbangan dan tensi yang ia miliki sudah sangat lusuh, penuh tanda usang. Namun, bagi Abah, itu adalah alat yang sangat berharga, karena itulah satu-satunya cara ia bisa bertahan hidup.Dulu, pada tahun 2000-an, jasa seperti ini sangat dicari.
Orang-orang membutuhkan alat ukur berat badan dan tensi darah yang tidak mereka miliki. Namun, kini zaman sudah berubah, jaman sekarang sangat jarang yang minat dengan jasa abah dan seringkali pulang abah hanya pulang dengan tangan kosong.
Meski seringkali hanya membawa beberapa ribu saja atau bahkan tidak ada uang sama sekali, Abah tetap merasa bersyukur. Terkadang ia mendapatkan 20 hingga 40 ribu sehari, meskipun itu jarang. Abah tahu betul bahwa hidup ini kadang penuh ketidakpastian. Dia hanya bisa pasrah dan menerima apa yang diberikan hari itu. Bahkan, meskipun ia hanya makan sekali sehari dengan nasi dan lauk sederhana, ia merasa sangat bersyukur.Namun, di balik semua perjuangannya, ada kesulitan yang semakin menekan Abah. Akhir-akhir ini, ia kesulitan membayar kontrakan rumahnya yang hanya 300 ribu per bulan. Itu pun terasa berat bagi Abah.
Setiap kali uang yang ia bawa tidak cukup, ia khawatir akan diusir dari tempat tinggalnya.Harapan Abah sederhana, tapi penuh makna. Ia tidak ingin meminta-minta, tidak ingin mengandalkan belas kasihan orang lain. Dia hanya ingin bisa terus bekerja, meski di usia tuanya. Dengan peralatan yang lebih baik dan tempat yang layak untuk berjualan, ia yakin bisa bertahan lebih lama. “Asal ada rezeki, saya masih bisa jualan,” ujarnya penuh tekad.